Posted by : kusyani
Kamis, 12 Mei 2016
Memerintah.
Mengapa memerintah anak kok tidak boleh, apalagi disertai bentakan ? Karena, anak menjadi lebih pasif, tidak mandiri, tidak punya inisiatif dan kreatif, dan ibu juga capek nyuruh-nyuruh terus.
Kalo kita ingin anak berbuat sesuatu, ajak, dan terangkan alasannya. Misalnya saat mengajak anak sholat ‘Nak, yuk kita sholat, mama temani’, ‘nak, yuk bereskan mainanmu, biar rumah bisa rapi’. Insya Allah, lama-lama anak akan terbiasa dan atas inisiatif sendiri akan melakukan hal-hal itu dengan sendiri nya.
Jadi bukan memerintah tapi melibatkan semua pihak termasuk si anak agar terbiasa dengan yang kita inginkan. Tentunya dalam hal ini kita harus memberikan contoh kongkrit, bagaimana caranya, kapan dilaksanakan, dan lain-lain.
Kebiasaan nyuruh-nyuruh membuat anak menjadi pasif. Misal nya saat nilai matematika jelek, jangan disuruh belajar atau les. Tapi, ajak bicara dan diskusikan apa yang menyebabkan nilai jelek, usahakan sampai anak menemukan sendiri permasalahan nilainya jelek, sehingga dia sendiri yang bilang ‘aku ingin les!’. Dengan demikian anak ada rasa tanggung jawab, dia les bukan karena ‘disuruh ibu’, tetapi karena dia merasa merasa perlu les.
Mengancam
Biasanya para ibu yang paling ahli mengancam: “kalo gak makan, mama tinggal! Kalo nakal, mama kurung di kamar mandi!” Akibatnya, anak nurut karena takut, bukan karena kesadaran. Hal ini membuat anak menjadi penakut, termasuk takut dengan teman-teman nya. Dampaknya anak mau saja diajak hal negatif oleh teman-teman nya karena takut ancaman, atau mungkin takut tidak punya teman.
Ada yang bilang, sah-sah saja mengancam anak, toh Allah di Al Quran juga mengancam dengan siksa yg pedih! Jawabannya adalah ancaman Allah itu kan hukuman untuk orang yg baligh (sdh ada taklif). Untuk anak-anak, kita sampaikan wajah Jamal (indah) Allah dulu.. Nak, sholat..supaya kita disayang Allah.. Nak, Allah itu baik, sudah kasih ini.. itu .. yuk kita berterimakasih.. caranya dengan sholat.. Menurut penelitian, otak kiri dan kanan anak tersambung syaraf-syaraf nya pada usia 9 th, dan saat itu dia bisa menghubungkan sebab-akibat yg abstrak (“ghaib”). Jadi saat itulah idealnya kita kenalkan “hukuman” Allah, bahwa manusia-manusia yg tidak patuh akan mendapat siksa, masuk neraka. InsyaAllah dengan proses ini, anak beribadah dengan landasan cinta dan syukur, bukan semata-mata takut pada neraka.
Menceramahi.
Jangan suka menceramahi anak ya bu.. Mengapa ? Coba kita ingat-ingat lagi, dulu waktu kecil, kalau diceramahi ibu atau bapak, apa yang kita rasakan ? Bete, sebel, dan dalam hati bilang ‘sok tau banget!’ atau ‘cerewet banget!’ Ya nggak? Lebih baik, ajak anak berdiskusi dalam suasana santai.
Menginterogasi
Terutama untuk anak remaja, gaya interogasi ini malah bikin mereka kesal dan semakin menjauh dari orang tua nya. Anak pulang telat, ibu langsung bergaya polisi, “Dari mana tadi? Sama siapa? Ngapain aja? Tadi habis les sama temen-teman, kalian mampir dulu di cafe ya? Kamu coba-coba ngerokok ya, kok bau rokok?!” Tentu tujuan ortu memang baik, tapi caranya yang harus diperbaiki para orang tua dalam mendidik anak-anak nya.
Memberi label/cap
Ibu sering ngomel: kamu lelet, nakal, bandel, ceroboh,dll. Kalo ibu marah biasanya tidak puas kalau tidak berkata, “kamu kok tidak pernah nurut/ dengerin ibu sih?!” Memberi cap akan membentuk citra diri anak. Ketika dia dikatai berulang-ulang bahwa dia lelet atau bodoh atau bandel, dia lama-lama akan merasa bahwa dirinya memang demikian. Dan akhirnya dia akan cuek, pasif, dan berpikiran “emang aku ya begini ini, situ mau apa?!”
Jadi biasakan ucapkan kata-kata yg membentuk citra positif anak, puji anak sesuai apa yg dilakukan (berlebihan memuji juga tidak baik, akan membuat anak narsis). Ungkapkan perasaan ibu. Misal, “Nak, ibu kesal kalau kamu….”
Membandingkan.
Tujuan ibu membanding-banding kan anak adalah supaya anak termotivasi, “belajar yg rajin dong, kayak kakak kamu. Liat kakak tuh, juara kelas terus, kamu kok engga sih?”
Ada beberapa kasus ekstrim yg ditemukan guru parenting saya, akibat ibu suka membandingkan. Salah satunya, adalah kasus perempuan dewasa, kena kanker parah. Saat diterapi, keluar masalahnya, ternyata dia selama ini tertekan karena sejak kecil ibunya tidak pernah puas sama dia, selalu banding-bandingkan dengan kakaknya.
Menghakimi
Contoh, kakak berantem sama adik, lalu ibu tanpa mau meneliti dulu langsung bilang “kakak jangan nakal sama adik!”, atau anak nilainya jelek, “ini pasti gara-gara kamu main game melulu!” Tujuan ibu ngomong gini adalah untuk memperbaiki perilaku anak, ya kan? Tapi sayang, cara ini tidak ngefek. Anak akan merasa sakit hati (terutama kali dia merasa benar/dituduh secara salah). Lama-lama dia merasa tidak disayang, disalahin melulu.dst . Ketika anak masih kecil, mungkin masih bisa kita kontrol. Tetapi ketika anak sudah beranjak remaja, jika komunikasi dg orang tua tidak bagus, anak akan menjauh dan lebih mendengarkan kata-kata temannya.
Teknik paling baik dalam membangun komunikasi dengan anak adalah bertanya (bukan menginterogasi) dan dengarkan jawabannya. Jadi jangan coba-coba menghakimi, biarkan anak menyampaikan argumen, lalu giring dia untuk ambil kesimpulan/penilaian atas perilakunya sendiri. Hal ini juga berdampak positif, karena melatih anak berpikir dan menyusun argumen.
Menyalahkan.
Ini sering banget kita lakukan dan terasa wajar. Misal anak numpahin minuman di karpet “ya ampun! Kok numpahin minum aja sih? Liat ni karpet jadi kotor! hati2 dong!”
Mungkin kita bertanya-tanya, emang anak salah, kok tidak boleh disalahin? Problemnya adalah pada gaya bicara orang tua. Kalo anak salah ya kita kasih tau, tetapi bukan dengan menyalahkan (apalagi plus ngomel, marah, atau melabeli “dasar kamu memang ceroboh!”). Seperti sdh saya bilang sebelumnya, tujuan kita belajar gaya bicara yg benar adalah agar komunikasi orang tua-anak terbangun baik sehingga berbagai masalah besar di masa depan bisa dihindari. Anak yg disalah-salah kan terus menerus akan tumbuh menjadi orang dewasa yang nggak pede, tidak kreatif (selalu takut salah), mungkin jadi pembohong (daripada disalahin, mending bohong aja),dll.
Ini harus dilatih supaya orang tua terbiasa. Jadi refleks saat anak berbuat kesalahan upayakan bukan berupa “menyalahkan”, coba ganti kalimat lain, misalnya.. “waduuh.. jatuh ya.. ayo bantu ibu ngelap karpetnya.. ” (pokoknya tahan lidah, jgn sampai meledak menyalahkan anak). Saat itupun anak sudah tahu kok kalau dia salah. Juga jangan ibu langsung bersihkan sendiri, libatkan anak, biarin dia ikut bersihin. Nggak bersih tidak masalah, kan masih kecil. Ibu bantuin bersihkan (bareng-bareng). Di sini ada yg dipelajari anak: menahan emosi (karena anak belajar dengan meniru sikap ibu), bertanggung jawab, dan dia tahu kalau tidak jalan hati-hati, ada akibatnya.
Mendiagnosis/menganalis.
Misal tadi, anak jatuh dan minuman di gelas tumpah ke karpet. Ibu tidak marah tetapi bilang begini, “adek tadi pasti jalannya sambil ngelamun ya? Trus, jadi nggak lihat nih ada mainan di atas karpet. Coba kalau tadi adek jalan pelan-pelan s aja, perhatiin kakinya, jangan sampai kesandung, pasti nggak bakalan tumpah nih susunya.. ”
Kebayang kalo ibu-ibu terbiasa ngomong gini..sampai anak remaja masih rajin menganalisis, pasti dalam hati mereka akan bilang “bawel amat sih emak gue! Sok tau banget!” Dalam kondisi gini, nggak ngefek ibu-ibu nasehat ini itu. karena di pikiran mereka sudah tertanam “ibuku sok tau!” Gawat kan?
Nah, yg sebaiknya dilakukan adalah BERTANYA (bukan interogasi ya). “Waduh..adek kok nilai matematikanya jelek?” (Biarkan anak menganalisis sendiri..jgn langsung bilang “ini pasti krn kamu males bikin PR!”) Bila komunikasi terjalin baik, anak terbuka curhat, misal memang dia tidak paham penjelasan guru. Lalu tanya lagi : “menurutmu, jalan keluarnya apa ya?”
Jadi kalo akhirnya anak les, itu atas kesadaran si anak (dan dia jadi senang menjalaninya) bukan krn hasil analisis ibu “ini pasti gurumu emang payah.. udah, mulai besok kamu les aja!”
Menyindir
Ibu-ibu sendiri kalo disindir orang enak tidak? Pasti kesel kan? sayangnya banyak juga ibu-ibu yang suka nyindir orang juga nyindir anaknya. Anak-anak yang disindir ibunya pun tetap sakit hati, merasa terhina, dan merasa disalahkan.
Contoh: anak lagi sibuk baca buku cerita, padahal rumah berantakan atau belum cuci piring. Ibu sambil beresin rumah, bilang “duh, tuan putri, santai banget nih baca bukunya.. emang enak ya jadi putri, ada pembantu yg ngurusin semuanya!”
Memberi solusi.
“Udah, kamu bobo aja, biar ibu yang beresin mainanmu.”… “ya, sini biar ibu yang bikinin prakarya-nya, kamu kerjakan PR yg lain aja”… Anak sudah di sekolah, sms, buku PR ketinggalan, ibu buru-buru nganter PR ke sekolah. Anak mau ujian, buku tidak ketemu… sambil ngomel, ibu bantu cariin dan ketemu (kalo nggak ketemu, ibu yang pinjem dari anak temennya, lalu ibu yg fotokopi). Sibuk bangeeeet.. ya kan?
Padahal, kita ibu-ibu nih udah banyak urusan, masak, nyuci, ngitung duit belanja (dan stress kalo duit tidak cukup), taklim, kerja, dll. Masa mau sih merepotkan diri untuk hal-hal yang seharusnya diurus sendiri oleh anak? Kebiasaan memberi solusi pada anak, selain merepotkan diri sendiri juga mendidik anak jadi pribadi manja, bergantung ke orang lain, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif mencari solusi untuk problemnya sendiri. Maka, stop berusaha jadi SUPERMOM yg selalu ingin kasih solusi.
Kalo ada masalah, ajak diskus, misalnya : menurutmu apa yg sebaiknya kamu lakukan? Bantu anak menemukan solusi masalah, biarkan dia berlatih berpikir, bukan kita menyuapinya dengan solusi. Saat dia sudah memilih solusi, fasilitasi, dampingi. Misal, anak tidak paham matematika. Tanya: menurutmu, harus bagaimana ya? Kalo dia bilang ingin les, fasilitasi. Kalo tidak ada uang, bilang ke anak, dorong dia mencari alternatif lain. Misal: Aku mau belajar sama paman (kebetulan pamannya mahasiswa matematika), fasilitasi, misalnya dengan cara antar ke rumah paman.
Menyuap.
“Kalau adek nggak rewel nanti ibu beliin eskrim”.. “Ssst, main dulu sana. Nanti kalo tamunya dah pulang ibu kasih uang untuk beli mainan. Skarang jangan ribut ya! Malu sama tamu”. “Ayo beresin mainannya, ntar ibu kasih hadiah”.. Ehm… siapa yg pernah ngomong gini?
Ibu-ibu … ini namanya menyuap ya. Kita sekarang benci sama para pejabat yg makan suap, tapi kadang kita lupa, sikap senang disuap itu ditumbuhkan oleh orang tua. Jangan sampai anak-anak kita besar jadi penyuka suap, mau kerja kalau ada uang pelicin, dll..naudzu billah..
Tujuan kita menyuap adalah supaya urusan cepet selesai. Karen itu yang harusi diingat mendidik anak itu memang butuh waktu..Makanya jangan sibuk dengan urusan selain anak, biar banyak waktu. Jadi, kalau anak nangis, kita tetap tenang, tidak tergoda menyuap. Lakukan antisipasi: saat mau ada tamu, bilang “Nak, nanti ibu ada tamu. Kamu yg tenang ya, jangan rewel. Ibu sayang pada anak yg sopan. Janji ya?” Siapkan segala macam mainan. Kalau anak rewel: introspeksi diri jangan-jangan memang udah kelamaan ngobrolnya. Tegas saja ke tamu: duh, maaf, obrolannya kita sambung lain waktu ya.. Tapi kalo baru 5 menit sudah rewel, mungkin karena sering disuap, artinya anak nggak tepati janji. Katakan baik2: ibu kecewa kamu tidak tepat janji.. tolong tunggu 10 menit lagi, ibu ngobrol dulu dengan tamu, lalu main denganmu. Dan 10 menit, tepati janji ibu. Anak akan belajar menepati janji.
Berbohong.
Ada tamu, ibu males menemui, bilang ke anak “bilang, ibu ga ada!”. Anak minta jajan, “ibu nggak ada uang!” (Padahal ada, tapi buat keperluan lain). Anak nggak mau makan “ntar ditangkep polisi lho” (selain ngancem, juga bohong, kan polisi nggak akan nangkap orang yang mogok makan). Akibat dari bohong: ya kita semua udah taulah. Kita benci dibohongi, masa kita latih anak kita jadi pembohong?